Emansipasi wanita yang diusung oleh Kartini ini adalah sebuah ide cemerlang untuk menghormati perempuan sebagai Ibu para manusia; untuk lebih memberikan kebebasan para wanita dalam memilih dan menentukan jalan hidupnya; untuk meningkatkan kualitas perempuan Indonesia. Emansipasi disini salah satunya bertujuan untuk mendobrak paradigma masyarakat Indonesia yang beranggapan bahwa pada akhirnya perempuan hanya akan kembali ke
dapur juga.
Emansipasinya Kartini ini sampai sekarang masih terus diperjuangkan. Entah karena kenyataan yang masih mengurung perempuan, atau karena dorongan keinginan kebebasan yang utuh untuk kaum perempuan. Bahkan, saat ini, emansipasi bermakna lebih luas lagi. Para perempuan menuntut kesamaan peran dan tanggung jawab dalam segala aspek kehidupan, baik biologis maupun non biologis.
Berbicara tentang emansipasi wanita dan Kartini, ada beberapa hal, yang menurut saya, harus kita cermati bersama. Pertama, sebenarnya, perempuan ingin bebas kerkarya ataupun berkarir tidak masalah. Hanya saja, mau tidak mau perempuan tetaplah punya kodrat dan fitrah yang tidak bisa dipungkiri, yaitu perempuan sebagai seorang Ibu dan perempuan sebagai seorang istri. Kartini sebagai seorang pejuangpun masih kembali kepada fitrahnya sebagai seorang Ibu dan Istri. Tidak pernah ada sejarah yang mencatat bahwa Kartini rela menelantarkan anak-anaknya demi memperjuangkan hak-haknya, atau sejarah yang mencatat Pak Harto mencium tangan Ibu Kartini ketika dia kembali ke rumah. Bahkan Kartini adalah Ibu yang sangat memperhatikan anak-anaknya dan sangat menghormati suaminya.
Saat ini, tidak sedikit kaum "Kartini" yang terlalu disibukkan oleh karir dan politik. Urusan kantor dijadikan prioritas utama. Hingga sangat sedikit perhatian yang bisa mereka berikan kepada putra putri mereka. Lalu lepaslah kontrol mereka terhadap anak-anak mereka dan masuklah anak-anak mereka mereka dalam kehidupan gelap yang tak terawaskan. Selain itu pula, karena kepadatan jadwal terbang mereka, kewajiban sebagai seorang istripun menjadi terabaikan, melayani suami, menghormati suami, ataupn menjadi Ibu rumah tangga bagi suami dan anak-anaknya. Akhirnya muncullah perselingkuhan yang dilakukan suami-suami mereka, lalu hancurlah keluarga mereka.Saya yakin, kenyataan ini bukanlah bagian dari perjuangan Kartini. Emansipasi yang diperjuangkan Kartini bukanlah untuk menghilangkan fungsi perempuan sebagai Ibu dan Istri. Emansipasi boleh saja, akan tetapi tidak boleh sampai keluar batas. Yang pasti, apapun alasannya, perempuan tidak bisa lepas dari dua fungsi utama tadi, sebagai seorang Ibu dan seorang Istri.
Kedua, yang perlu kita perhatikan bersama adalah perayaan Hari Kartini itu sendiri. Perayaan hari Kartini yang sampai meliburan seluruh kegiatan formal ini bukanlah sekedar ajang selebrasi dan demonstrasi belaka. Hari itu bukan hanya hari untuk turun ke jalan dengan memakai kebaya sambil membagikan bunga mawar lalu mengucapkan “selamat hari Kartini”. Tapi, lebih dari itu, perayaan ini menuntut kaum perempuan di Indonesia untuk mengingat dan menyerap semangat dan perjuangan Kartini . Di hari itu, kaum perempuan seharusnya bisa membuktikan kebenaran perjuangan Kartini dengan menjadi wanita yang berkualitas, bertatakrama sebagaimana diri seorang Kartini. Kaum perempuan harus membuktikan menjadi perempuan benar-benar perempuan, menjadi Kartini masa kini.
Untuk kaum perempuan,
Jangan berteriak emansipasi, jika masih belum siap “di-emansipasi”. Jangan hanya menuntut, jika masih belum siap untuk dituntut!!!
No comments:
Post a Comment