Woe_Lan
PENDAHULUAN
Dalam proses pemilihan umum, perolehan suara dalam pemilu sangat ditentukan oleh dukungan massa pemilih terhadap pilihan partai-partai peserta pemilu. Dukungan pemilih sangat ditentukan oleh kualitas dari program partai yang tertuang dalam manifesto politiknya. Sehingga, setiap partai politik dalam kampanyenya selalu memberikan janji-janji yang berisikan kebijakan-kebijakan yang sekiranya bisa menarik simpati masyarakat. Namun pada akhirnya, ketika mereka telah meraih kemenangan dalam pemilu, seolah-olah janji-janji yang dulu mereka suarakan hanya merupakan omong kosong belaka.
Oleh karena itu, dalam makalah ini dibahas tentang segala hal mengenai partai politik serta janji-janji masa kampanye yang sering mereka gembor-gemborkan.
A. Peranan Dan Fungsi Partai Politik
Sebelum kita membahas peran dan fungsi partai politik, maka kita harus mengetahui terlebih dahulu apa itu partai politik. Partai politik merupakan media atau sarana partisipasi warga negara dalam penentuan siapa yang menjadi penyelenggara negara pada berbagai lembaga negara di pusat dan daerah.
Dilihat dari pengertiannya sudah bisa diketahui bahwa partai politik memiliki peranan yang sangat penting dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Keberadaannya tidak hanya sebagai media atau sarana bagi warga dalam partisipasi politik, namun juga menentukan siapa saja yang berhak menjadi penyelenggara negara atau yang biasa disebut sebagai “wakil rakyat”. Begitu besarnya peranan yang dimiliki partai politik sehingga diperlukan adanya tanggung jawab yang besar pada setiap partai politik dalam mengemban amanat rakyat.
Selanjutnya, berdasarkan kajian literature yang ada setidaknya terdapat 5 (lima) fungsi dasar dari keberadaan partai politik, yaitu:
1) Fungsi Artikulasi Kepentingan
Artikulasi kepentingan adalah suatu proses penginputan berbagai kebutuhan, tuntutan, dan kepentingan melalui wakil-wakil kelompok yang masuk dalam lembaga legislatif, agar kepentingan, tuntutan dan kebutuhan kelompoknya dapat terwakili dan terlindungi dalam pembuatan kebijakan publik.
2) Fungsi Agregasi Kepentingan
Agregasi kepentingan merupakan cara bagaimana tuntutan-tuntutan yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda digabungkan menjadi alternatif-alternatif pembuatan kebijakan publik.
3) Fungsi Sosialisasi Politik
Sosialisasi politik merupakan suatu cara untuk memperkenalkan nilai-nilai politik, sikap-sikap dan etika politik yang berlaku atau yang dianut oleh suatu negara.
4) Fungsi Rekrutmen Politik
Rekrutmen politik adalah suatu proses seleksi atau rekrutmen anggota-anggota kelompok untuk mewakili kelompoknya dalam jabatan-jabatan administrative maupun politik.
5) Fungsi Komunikasi Politik
Komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang dijalankan oleh partai politik dengan segala struktur yang tersedia, mengadakan komunikasi informasi, isu dan gagasan politik.
B. Kampanye Sebagai Bentuk Komunikasi Politik
Di saat menjelang pemilihan umum, maka muncullah partai-partai politik yang saling bersaing untuk berebut tempat di parlemen. Persaingan itu terlihat sangat jelas pada masa-masa kampanye.
Pada dasarnya, kegiatan kampanye sama halnya dengan kegiatan komunikasi yang bertujuan untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat, mempersuasikannya dan kemudian membentuk sikap masyarakat untuk bersedia memilih partai politiknya. Dalam hal ini yang bertindak sebagai komunikator adalah partai politik, kandidat, dan tenaga profesional kampanye. Pesan yang disampaikan merupakan pesan-pesan kampanye dalam berbagai bentuk seperti ide, gagasan atau wacana. Sedangkan komunikannya adalah masyarakat (pemilih dalam pemilu). Untuk akhirnya terjadi efek berupa jumlah perolehan suara yang signifikan.
Kampanye merupakan strategi kontrol sosial dalam rangka mengarahkan psikologi dan perilaku pemilih untuk menyesuaikan dan pada saatnya menuruti apa yang diprogramkan oleh partai politik. Ujud yang paling nyata kegiatan kampanye politik sebagai strategi kontrol sosial adalah provokasi.
Kegiatan kampanye pemilu adalah proses mempersuasi khalayak untuk bersedia menerima, mendukung dan akumulasinya adalah memilih partai atau kandidat yang dikampanyekan.
Dalam kenyataannya, komunikasi politik dalam hal ini adalah kampanye dapat dikategorikan sebagai pemasaran sosial yang memperkenalkan ide, gagasan atau wacana sebagai produk yang dipasarkan. Oleh karena itu, tidak heran jika masing-masing partai politik yang muncul selalu memperkenalkan ide atau gagasannya dalam bentuk janji-janji politik. Janji-janji yang ditawarkan tersebut tak ubahnya seperti produk-produk yang dipasarkan. Sehingga masyarakat sebagai pemilih dalam pemilu harus pandai memilah partai politik mana yang sekiranya memberikan janji yang konkrit. Atau partai politik mana yang sekiranya hanya berani mengumbar janji tanpa ada realisasi.
C. Umbar Janji Tak Tunjukkan Aksi
Demokrasi procedural terwujud ketika partai politik dibentuk, lalu masing-masing mereka berkompetisi dalam kancah pemilihan umum. Perebutan suara di dalam kompetisi itu terjadi ketika masing-masing partai “menjual” program politik masing-masing dalam bentuk janji politik kepada rakyat. Berdasarkan penilaian kualitas janji politik tersebutlah akhirnya rakyat menentukan pilihan. Ketika riuh rendah pemilu usia, tugas partai politik pemenang pemilu tinggal mewujudkan janji-janji politiknya itu.
Janji, sebuah penangguhan sementara atas kewajiban yang pemenuhannya di masa mendatang. Tidak banyak perbedaan antara janji partai dengan janji perorangan. Yang mendasar, janji partai selalu bersifat politis dan mempunyai syarat tertentu, misal, menunggu kemenangan partai bersangkutan.
Pada dasarnya tidak ada persoalan partai mengeluarkan “janji politik” berupa program atau berbagai macam tawaran perbaikan. Bahkan, dalam rangka pendidikan “janji politik” harus diberikan. Yang justru patut dipermasalahkan, pertama, sejauh apa janji itu realistis untuk diwujudkan. Kedua, bagaimana atau dalam situasi apa janji itu disampaikan. Dan ketiga, komitmen partai bersangkutan dalam menepati janjinya.
Janji parpol yang disampaikan saat kampanye, seperti perbaikan kondisi ekonomi, pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), perubahan struktur politik ke arah demokrasi, dan reformasi hukum yang lebih menjamin keadilan, ternyata tidak terpenuhi. Sebaliknya, korupsi di mana-mana, praktik kekerasan negara dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) semakin membabi buta, utang kian menumpuk, dan penggusuran terhadap rakyat marjinal menjadi-jadi. Parpol lupa pada nasib pemilihnya.
Yang harus dicermati dari sekian janji ideal itu, sejauh mana janji-janji atau program-program itu realistis? Bagi masyarakat, kita membutuhkan analisis mendalam untuk melihat kemungkinan janji tersebut bisa diwujudkan. Dan selayaknya, partai bersangkutan memberikan rasionalisasi yang mencukupi tentang bagaimana cara merealisasikannya
Selanjutnya, “janji politik” harus disampaikan melalui komunikasi politik yang sehat. Sangat penting untuk memperhatikan bagaimana caranya “janji politik” itu dikomunikasikan. Faktanya, seringkali “janji politik” disampaikan sepintas lalu dalam ajang kampanye yang berbentuk pesta musik dangdut dan sebagainya. Cara ini tentu saja sama sekali tidak efektif. Mengeluarkan janji dalam kesempatan ini sama dengan “mengumbar janji” yang sifatnya mubadzir. Oleh karenanya, “janji politik” seyogyanya disampaikan dalam situasi kondusif, dimana konstituen mau dan mampu untuk menalar seabrek janji itu.
Semua “janji politik” yang baik tidak akan berfaedah tanpa adanya komitmen politik. Tentu saja konstituen harus mengawal dan mendampinginya. Seyogyanya konstituen mendesak partai untuk menandatangani kontrak politik. Bagi partai bersangkutan, celah untuk menciderai janji menjadi semakin kecil. Mengingat, kontrak politik yang tentu saja “hitam di atas putih”, suatu tempo bisa digugat dan bisa mempengaruhi track record partai bersangkutan.
Sangat disesalkan, mengumbar janji-janji manis saat berkampanye, agaknya sudah dirasa sesuatu yang lazim dan sebagai suatu kewajiban oleh parpol. Soalnya, tiap parpol dan anggotanya masih beranggapan untuk merebut simpati rakyat dan memenangkan pemilu, bisa dilakukan dengan berbagai cara. Termasuk dengan membuat janji, meski pada akhirnya tak bisa dipenuhi.
D. Menyikapi Janji Manis Partai Politik
Hans-Dieter Klingemann dkk (1999) cukup mengejutkan kita ketika ternyata ia berhasil menunjukkan bahwa mayoritas partai politik di sepuluh negara Eropa yang ditelitinya telah memenuhi janji politiknya dalam produk-produk kebijakan publik. Keterhenyakan kita berangkat dari aksioma bahwa politik identik dengan kebusukan dan persekongkolan hitam. Sehingga wajar jika janji politik selama ini hanya jadi pemanis bibir saja, tanpa pernah keluar menjadi élan perjuangan politisi yang sesungguhnya. Namun, yang kurang mengejutkan dari Klingemann adalah ketika dikatakannya hal itu sangat terkait erat dengan majunya peradaban dan demokratisasi di negara-negara Eropa yang ia teliti.
Kenyataan di atas adalah pelajaran dan sekaligus tamparan bagi kita di Indonesia untuk melihat lebih jauh realitas tersebut di sini. Jatuh bangunnya kebijakan publik yang ada di Indonesia lebih banyak diwarnai oleh tawar-menawar “politik saat ini dan di sini”, ketimbang hasil sebuah perjalanan panjang karir politik seorang anggota parlemen.
Janji politik seharusnya lebih mencerminkan sistem kepartaian pluralis. Sebab dengan berbagai dasar ideologi dan paradigma yang berbeda-beda, seyogyanyalah masing-masing partai memiliki keragaman program operasional yang akan mereka perjuangkan sesuai dengan platform partai mereka. Dan ketika pemilu usai maka kejadian politik yang paling seru adalah ketika masing-masing partai memperjuangkan program operasionalnya itu, tawar-menawar yang sengit antara program operasional partai yang satu dengan yang lain adalah tontonan yang tak kalah mengasyikkan ketimbang pemilu itu sendiri. Namun kenyataannya yang terjadi di Indonesia pemilu tetap merupakan pesta demokrasi dan ketika pesta selesai maka yang ada hanyalah sepi.
Undang-undang Pemilu No. 12/2003 jika dikaji secara saksama, sebenarnya menawarkan niat baik untuk melindungi hak-hak rakyat. UU itu pada hakikatnya tidak hanya ingin mengajak masyarakat agar tidak lagi ”membeli kucing dalam karung”, karena bisa memilih nama secara langsung, tetapi juga mengajak partai politik untuk berbuat jujur.
Pertama, digunakannya sistem daerah pemilihan, sebenarnya adalah untuk menjembatani agar wakil rakyat itu benar-benar paham dengan problem daerah dan masyarakat yang diwakilinya. Untuk itu, kendala apa yang sedang dihadapi daerah, juga keperluan apa yang dibutuhkan masyarakat, para wakil rakyat ini seharusnya sudah mengetahui sejak awal.
Kedua, diberikannya hak rakyat untuk menentukan pilihannya pada nama orang secara langsung, sebenarnya adalah untuk menjembatani agar rakyat tidak lagi membeli ”kucing dalam karung”. Artinya, rakyat diberikan kebebasan untuk menilai siapa yang baik dan pantas menjadi wakilnya, dan siapa yang jelek (busuk) dan tidak pantas menjadi wakilnya.
Satu hal yang mungkin selalu luput dari pengamatan masyarakat adalah kurangnya sanksi terhadap partai politik. Terutama bagi parpol yang setelah pemilihan umum ternyata ingkar janji. Padahal, saat berkampanye, para juru kampanye itu mengumbar janji-janji dengan sangat bersemangat dan meyakinkan. Sudah saatnya rakyat bertindak tegas terhadap parpol yang membohonginya itu.
Indikator terpenting dalam penegakan hukum, memang pada political will pemimpin nasional. Tetapi tidak hanya di tangan presiden, pimpinan parpol yang anggotanya duduk di legislatif dan eksekutif, juga harus bertindak tegas. Setidaknya memberikan sanksi bagi mereka yang melanggar janjinya yang digembor-gemborkannya saat kampanye. Tetapi, kenyataannya sejauh ini memang tak ada sanksi khusus yang bisa dijatuhkan kepada parpol atau anggotanya yang tidak menepati janji-janji itu. Hanya ada sanksi politik, namun juga tak akan berjalan kalau kesadaran politik masyarakat masih lemah.
Untuk itu, tidak ada salahnya jika kita mengetuk nurani para elite partai, bahwa kampanye pada hakikatnya adalah sarana untuk mentransfer pesan-pesan politik,bukan mengobral janji. Jadikanlah kampanye sebagai sarana untuk melakukan pendidikan politik. Tunjukkan pada masyarakat bahwa bukti politik lebih penting daripada janji politik. Pun demikian harus disadari, bahwa masyarakat pemilih bukanlah ”obyek”, mereka adalah ”subyek” politik itu sendiri. Kalau selama ini masyarakat diam, itu bukan berarti masayrakat tidak paham, masyarakat hanya malu untuk berteriak bahwa mereka sebenarnya ”lapar”! Mengapa? Karena masyarakat sebenarnya masih punya harga diri, yang tidak mau menjadi pengemis atau peminta-minta.
Kesimpulan
Partai politik memiliki peranan yang sangat penting dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Keberadaannya tidak hanya sebagai media atau sarana bagi warga dalam partisipasi politik, namun juga menentukan siapa saja yang berhak menjadi penyelenggara negara. Partai politik memiliki lima fungsi dasar yaitu fungsi artikulasi kepentingan, fungsi agregasi kepentingan, fungsi sosialisasi politik, fungsi rekrutmen politik, dan fungsi komunikasi politik.
Kampanye merupakan bentuk komunikasi politik dimana dalam proses kampanye partai politik menyampaikan pesan-pesan politiknya dalam berbagai bentuk seperti ide, gagasan ataupun wacana guna memperoleh simpati dari masyarakat sebagai pemilih dalam pemilu.
Masa kampanye adalah masa dimana partai politik saling mengumbar janji yang pada akhirnya tidak ada realisasi yang berarti.
karena tiap parpol dan anggotanya masih beranggapan untuk merebut simpati rakyat dan memenangkan pemilu, bisa dilakukan dengan berbagai cara. Termasuk dengan membuat janji, meski pada akhirnya tak bisa dipenuhi.
Untuk menyikapinya diperlukan undang-undang yang melindungi hak masyarakat dalam memilih serta harus ada sanksi terhadap partai politik yang hanya berani mengumbar janji.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Anwar, M. Khoirul dan Vina Salviana (ed.). 2006. Perilaku partai politik. Malang: UMM Press
Imawan, Riswandha. 1997. Membedah politik orde baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Putra, Fadillah. 2003. Partai politik dan kebijakan publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Internet:
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0403/11/opi01.html
http://balipost.co.id/balipostcetak/2004/3/29/p2.htm
http://mengintipdunia.blogspot.com/2008/07/salahkah-janji-politik.html
http://dwiarianto_blogspot.com/2004/01/pemilu-kampanye-dan-arus-pragmatisme.html
No comments:
Post a Comment