Video of the day

Search This Blog

Saturday, April 10, 2010

HADITS ETIKA SEHARI-HARI

1. ADITS LARANGAN BERDUA DENGAN NON MUHRIM

A. Analisis Hadits
Pada masa modern seperti sekarang ini, adanya interaksi dua gender tidak dapat terelakkan. Baik dalam dunia pendidikan, pekerjaan, ataupun selainnya. Akan tetapi orang-orang islam sudah banyak yang terkontaminasi oleh budaya luar (negatif), dimana mereka sudah tidak memperhatikan lagi nilai-nilai syariat islam itu sendiri, seperti hubungan pra nikah yang begitu bebas tanpa batas.
Padahal, sangat banyak hadits-hadits yang dengan tegas melarang tindakan tersebut, termasuk hadits yang akan kita bahas di bawah ini.

لايحلون رجل بامراءة ولاتسافرن امراة الا ومعها محرم
“Janganlah sekali-kali seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita saja, kecuali ia bersama muhrimnya” .

Hadits diatas terdapat dalam kitab Al Lu’lu’ Wa Almarjan yang dikutip dari Shahih Bukhari, no. hadis 4904 dan hadits ini sering sekali digunakan oleh banyak kalangan untuk mengharamkan tindakan pergaulan bebas alias pergaulan yang tidak lagi memperhatikan batas-batas islamiyah yang telah ada.
Adapun kutipan lengkapnya hadits tersebut adalah sebagai berikut:



Nabi Saw bersabda:“Janganlah sekali-kali seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita saja, kecuali ia bersama muhrimnya”, lantas ada seorang laki-laki berdiri seraya berkata: Ya Rasulallah, istriku keluar menunaikan ibadah haji, sedangkan saya terkena kuwajiban mengikuti peperangan ini. Beliau bersabda: “kembalilah! Dan tunaikan haji bersama istrimu” ,
Tidak hanya dalam kitab Bukhari, tapi juga dalam Kitab Sahih Musli dalam Syarah al-Sanusi, jilid 4, no. hadis 424:


Diriwayatkan oleh Abu Ma’bad, ia berkata: saya pernah mendengar Ibn Abbas berkata: Saya pernah mendengar Nabi Saw berpidato: “janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita saja, kecuali ia bersama muhrimya. Tiba-tiba seorang laki-laki bangkit berdiri dan berkata: Ya Rasulallah, sesungguhnya istriku bepergian untuk menunaikan ibadah haji, sedangkan aku terkena kuwajiban mengikuti peperangan ini. Beliau bersabda: “Berangkatlah dan tunaikanlah haji bersama istrimu” .

Dalam Sunan Tirmidzi, jilid 4, no. hadis 2165 juga diriwayatkan :


Diriwayatkan oleh Ibn Umar, ia berkata: Umar berpidato kepada kami di al-Jabiyah dan ia berkata: Wahai manusia sekalian, sesungguhnya saya berdiri di tengah-tengah kamu seperti berdirinya Rasulallah Saw di tengah-tengah kami, lalu Beliau bersabda: Saya berwasiat kepadamu agar mengikuti jejak para sahabatku kemudian orang-orang mengiringi mereka, kemudian orang-orang mengiringi mereka, kemudian dusta tersebar sehingga seseorang bersumpah sedang ia tidak diminta sumpah dan seseorang menjadi saksi sedangkan ia tidak diminta menjadi saksi. Ingatlah, janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita melainkan yang ketiganya adalah syaitan. Tetaplah bersatu dan jauhilah perpecahan. Karena sesungguhnya syaitan beserta dua orang itu lebih jauh. Barang siapa menghendaki tempat di surga maka hendaklah ia selalu bersatu. Barang siapa yang kebaikannya dapat menyenangkannya dan kejelekannya dapat menyedihkannya maka ia adalah seorang mukmin .

Karena hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Juga Muslim, itu berarti hadits ini keshahihannya tidak bisa diragukan lagi. Karena tingkatan hadits yang paling tinggi adalah hadits yang diriwayatkan oleh kedua perawi tersebut.
Di dalam teks-teks hadits di atas terkandung larangan berkhalwat (menyendiri/bersembunyi) dengan laki-laki ataupun perempuan lain yang bukan mahram, karena dikhawatirkan setan akan menjerumuskan keduanya kedalam fitnah. Karena tidak sekali-kali seorang laki-laki menyendiri dengan seorang perempuan melainkan setan sebagai orang ketiga. Akan tetapi, bila wanita yang bersangkutan ditemani oleh seorag mahramnya, maka bukan khalwat lagi namanya walaupun ia berada diantara lelaki lain. Dan termasuk ke dalam pengertian khalwat, melakukan suatu perjalanan dengan seorang wanita, tanpa memandang apakah perjalanan itu berjarak dekat ataupun berjarak jauh. Untuk itu seorang wanita tidak boleh bepergian kecuali dengan mahramnya karena menimbang makna hadis di atas, yaitu dikhawatirkan akan terjadi fitnah.
‘Illah (alasan) lain di balik larangan ini ialah kekhawatiran akan keselamatan perempuan apabila ia bepergian jauh tanpa disertai seorang suami atau mahram. Ini mengingat bahwa di masa itu, orang menggunakan kendaraan unta, baghal ataupun keledai dalam perjalanan mereka, seringkali mengarungi padang pasir yang luas atau daerah-daerah yang jauh dari hunian manusia. Dalam kondisi seperti itu, seorang perempuan yang bebpergian tanpa disertai suamii ataupun mahramnya, tentunya dikhawatirkan keselamatan dirinya, atau — paling sedikit — nama baiknya dapat tercemar .
Akan tetapi, jika kondisi seperti itu telah berubah, seperti di masa kita sekarang, ketika perjalanan jauh ditempuh dengan menggunakan pesawat terbang yang mengangkut seratus orang penumpang atau lebih; atau kereta api yang mengangkut ratusan musafir, maka tidak ada lagi alasan untuk mengkhawatirkan keselamatan wanita yang bepergian sendiri. Karena itu, tidak ada salahnya, ditinjau dari segi syariat, jika ia melakukannya. Dan ini tidak dapat dianggap sebagai tindak pelanggaran terhadap hadis tersebut. Bahkan hal seperti itu, menguatkan kandungan hadis marfu’ yang dirawikan oleh Bukhari
“Akan datang masanya ketika seorang perempuan penungga unta pergi dari [kota] Hirah (menuju Ka’bah), tanpa seorang suami bersamanya”. (Shahih Bukhari, Bab ‘Alaamaat An-Nubuwwah fi Al-Islaam)
Hadis ini menunjukkan dibolehkannya seorang perempuan bepergian tanpa suami atau mahram dalam keadaan seperti itu. Begitulah yang disimpulkan oleh Ibn Hazm dari hadis tersebut .
Hadits-hadits diatas sebenarnya memperkuat ayat-ayat al-qur’an yang melarang wanita dan laki-laki yang bukan mahram untuk menjaga pandangan apalagi mendekati zina. Seperti dalam Surat Al Israa’ ayat 32 yang berbunyi:

ولا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا ﴿٣٢

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS Al-Isro : 32)

Dan surat Annur ayat 31
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (An-Nur: 30–31) .


B. Fiqih Hadis
1. Hukunya haram berkhalwat (menyendir) dengan wanita lain yang bukan muhrimnya.
2. Wanita dilarang melakukan perjalanan tanpa ditemani mahramnya.
3. Ibadah haji wanita sah, sekalipun ia berangkat tanpa mahram; tetapi ia dianggap telah melakukan maksiat karena berangkat sendirian atau tanpa izin suami.
2. SOPAN SANTUN DAN DUDUK DI JALAN
Berhati-hatilah duduk-duduk di pinggir jalan. Para sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, bagi kami sesuatu yang tidak dapat kami tinggalkan. Dalam berkumpul itu kami berbincang-bincang." Nabi SAW menjawab, "Kalau memang suatu keharusan, maka berilah jalan itu haknya." Mereka bertanya lagi, "Apa yang dimaksud haknya itu, ya Rasulullah?" Nabi SAW menjawab, "Palingkan pandanganmu dan jangan menimbulkan gangguan. Jawablah tiap ucapan salam dan ber-amar ma’ruf nahi munkar." (HR. Bukhari dan Muslim)
Duduk-duduk di pinggir jalan memang mengasyikkan. Disamping pasang aksi dan jual tampang, juga mengobrol ke sana ke mari, bercanda ria, dan menikmati pemandangan di depannya. Menggoda orang yang lewat, terutama perempuan tidak terlepas dari aktivitas itu. Bahkan sampai berani mengganggu dan merayu.
Kegiatan seperti ini telah menjadi kesenangan dan membudaya di kalangan muda-mudi dari zaman ke zaman. Malahan bukan hanya pemuda-pemudi saja yang menyenangi duduk-duduk di pinggir jalan ini, tapi pada tingkat orang dewasa dan orang tua juga menyukainya.
Di zaman Rasulullah SAW hal ini pun merupakan kesenangan para sahabat, sehingga beliau mewanti-wanti dan memberi batasan tentang adab-adab yang harus dipenuhi oleh orang-orang yang senang duduk-duduk di pinggir jalan. Di antara ketentuan-ketentuan itu seperti dalam hadits di atas :
Pertama, palingkan pandangan. Pandangan mata, sesuatu hal yang membahayakan karena akan mempengaruhi hati dan menggerakkan nafsu birahi yang bergejolak. Walaupun cepatnya pandangan secepat larinya anak panah dari busurnya, ia akan menyangkut dalam hati. Dan hati bisa menyeret pada keinginan untuk melampiaskan hasratnya itu.
Karena berbahaya pandangan mata itu, Allah memerintahkan untuk menundukkan pandangan itu. Perintah ini tertera dalam surah An-Nuur 30-31 :
            •                                                                                   •     
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman:"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman:"Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka…,"
Ibnu Qayyim berkata, "Pandangan mata adalah penyebab dan penggerak utama adanya nafsu birahi, maka menjaga pandangan mata merupakan penjagaan atas kemaluan. Barangsiapa membiarkan pandangan matanya berkeliaran untuk melihat sela-sela kemaksiatan, sesungguhnya Allah telah menciptakan sebagai cermin dari hati. Jika hamba ini menggerakkan matanya guna memandang barang haram,
niscaya hatinya akan menggerakkan dan mempengaruhi nafsu birahi dan hasratnya. Dan jika seseorang memelihara pandangan matanyanya, niscaya hati tidak akan menggerakkan nafsu birahi.
Kedua, jangan mengganggu. Nongkrong-nongkrong di pinggir jalan terasa kurang asyik bila tidak menggoda dan mengganggu orang. Gatal lidah rasanya bila tidak melontarkan kata-kata pada orang yang lewat di depan matanya. Keinginan itu pastilah muncul bagi orang yang senang duduk-duduk di pinggir jalan, bahkan ada juga yang tujuannya memang demikian. Untuk Rasulullah SAW memberikan persyaratan untuk tidak mengganggu orang, bila pekerjaan nongkrong di pinggir jalan
ini tidak bisa ditinggalkan. "Kaffuladzai", jangan menimbulkan gangguan.
Ketiga, membalas ucapan salam. Islam telah mengatur tentang adab-adab salam sedemikian rupa, yang mencakup hukum memberi salam, hukum menjawabnya dan siapa yang lebih duluan salam.
Apabila berjumpa sesama muslim, Rasulullah memerintahkan untuk saling mengucapkan salam. Yang muda mendahului memberi salam kepada yang tua, yang lewat kepada yang duduk, yang berkendaraan kepada yang berjalan kaki, yang berjumlah sedikit kepada yang banyak, dan laki-laki memberi salam kepada wanita. Wanita dilarang memberi salam kepada laki-laki.
Berdosa hukumnya bila ada salam tidak dijawab, karena hukum menjawab salam adalah wajib. Maka dengan itu Rasulullah memerintahkan untuk selalu menjawab salam orang yang lewat ketika kita nongkrong di pinggir jalan.
Keempat, ber-amar ma’ruf nahi munkar. Bila suatu ketika di depan mata kita terjadi kezaliman, jangan sampai dibiarkan terjadi tanpa kita turun untuk mencegahnya. Sudah merupakan kewajiban bagi seseorang untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar. Cegahlah dengan tangan, atau dengan hati, tapi itu selemah-lemahnya iman. Jangan biarkan kemungkaran terjadi di depan mata kita, apalagi kita mampu untuk mencegahnya. Jika kita membiarkan, tunggulah siksa Allah di hari
pembalasan kelak.
"Sesungguhnya Allah Azza Wajalla tidak menyiksa awam karena perbuatan dosa orang-orang yang khusus sehingga mereka melihat kemungkaran di hadapan mereka dan mereka mampu mencegahnya, tetapi mereka tidak mencegahnya. Kalau mereka berbuat demikian maka Allah menyiksa yang khusus dan yang awam." (HR. Ahmad dan At-Thabrani).
Kelima, tunjuki jalan bagi orang yang bertanya. Kewajiban lainnya bagi orang-orang yang duduk-duduk di pinggir jalan adalah memberikan bantuan dan menerangkan dengan jelas bagi orang yang memerlukan bantuan tersebut. Layani dengan baik, tanya apa keperluannya, mau ke mana, dan jawablah dengan baik lantas tunjuki jalan atau tempat yang dia cari, lebih baik lagi kalau diantarkan ke tempat yang dituju. Itulah kewajiban yang diperintahkan Rasulullah kepada orang-orang yang duduk-duduk di pinggir jalan.
Nabi SAW mendatangi serombongan orang yang sedang duduk-duduk di pinggir jalan, lalu beliau berkata, "kalau memang harus kamu lakukan maka balaslah ucapan salam dan tolonglah orang yang dizalimi. Tunjuki jalan bagi orang yang bertanya." (HR. Abu Daud) Jelaslah bahwa Rasulullah SAW selalu menegur pada orang-orang yang duduk-duduk di pinggir jalan. Memalingkan pandangan, jangan mengganggu, menjawab salam, ber-amar ma’ruf nahi munkar, menolong orang yang dizalimi, dan menunjukkan jalan bagi orang yang bertanya. Bila hal-hal ini tidak bisa dilaksanakan, maka sebaiknya menghindari untuk duduk-duduk di pinggir jalan. Perbuatan ini membuka peluang untuk mengerjakan maksiat dan terus menambah tabungan dosa kita, yang akan dipertanggungjawabkan di hari kemudian. Pekerjaan yang demikian bila kita jauhi akanسس menghindarkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tiada berguna, dan ini merupakan ciri orang beriman yang beruntung.
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tiada berguna." (QS. Al-Mu’minun: 1-3).
               
Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Cukuplah bagi sekelompok orang berjalan untuk mengucapkan salam salah seorang di antara mereka dan cukuplah bagi sekelompok orang lainnya menjawab salam salah seorang di antara mereka." Riwayat Ahmad dan Baihaqi.
Hadits ke-9
Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah mendahului orang Yahudi dan Nasrani dengan ucapan salam, bila bertemu dengan mereka di sebuah jalan usahakanlah mereka mendapat jalan yang paling sempit." Riwayat Muslim.
Hadits ini menerangkan tata cara atau sopan santun ketika kita berada di jalan yaitu hendaknya kita mengucapkan salam bagi yang muda kepada yang lebih tua, yang berjalan kepada yang duduk dan kelompok yang sedikit kepada kelompok yang lebih banyak dan yang menaiki kendaraan kepada yang berjalan,dan seterusnya. Ini adalah tata cara dan sopan santun uluk dan menjawab salam bagi kita, seperti yang tertera pada hadits yang sebelumnya, yaitu ucap dan menjawab salam.
3. HADITS KEUTAMAAN MENYEBARKAN SALAM
1. PENGERTIAN SALAM
Kata salam dan Islam berasal dari satu akar kata, yaitu: salima dengan kata jadinya (masdar) salām-un dan salāmat-un, artinya sejahtera. Dengan tanbahan huruf hamzah diawalnya yang kemudian kata jadinya Islām-un. Yang berarti berserah diri.
Melihat penbentukan kedua kata yang demikian dekatnya, maka tidak heran bila kata salam dan Islam mempunyai arti dan makna yang saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan yang satu dengan yang lainnya. Bahkan dari kedua kata itu dapat dirangkum satu pengertian yang utuh, yaitu: bahwa kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat dapat dicapai hanya dengan cara berserah diri kepada Allah SWT. Yang demikian ini merupakan inti ajaran agama Islam, yaitu yang disebut dengan tauhid.
Bentuk penyerahan diri kepada Allah, merupakan penyerahan diri pada sesuatu yang total; berikut hati, pikiran dan berserah kepada sesuatu yang disyariatkan oleh Allah SWT. Hal ini kita dapati dari ucapan nabi Ibrahim “aku berserah diri kepada Tuhan semesta alam” (Q.S. 2: 131).
Semua pengabdian kita kepada Allah dinamakan ibadah, dan ibadah yang berupa amal saleh seseorang sangat bergantung pada keimanan mereka. Oleh karena itu, dalam al-Qur’an seringkali disebutkan rangkaian iman dan amal saleh untuk menunjukkan bahwa amal saleh merupakan manifestasi dari iman, dan mengucapkan salam merupakan manifestasi dari iman di dalam Islam.
Dari pengertian sebagaimana tersebut diatas, dapat dirumuskan lebih kongkrit, bahwa penyerahan diri kepada Allah dapat diwujudkan dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya, serta menjauhi larangan-Nya. Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa suatu kesejahteraan dapat dicapai hanya dengan loyalitas dan dedikasi yang tinggi terhadap aturan tunggal yang ditetapkan oleh Allah SWT. Hal ini mutlak, sebab ketaatan terhadap macam-macam peraturan yang datang dari sumber-sumber yang bermacam-macam selalu mengundang salah faham dan pertentangan.

Salam sebagai ajaran agama, bukan hanya untuk sekedar berbasa-basi atau untuk menjunjung tinggi sebuah tradisi, tapi salam merupakan lambang persaudaraan dan perdamaian. Lebih dari itu ia merupakan untaian doa yang tersusun dalam kata dan makna yang sangat indah yaitu: Assalāmu’alaikum wa rahmatullāh wa barakātuh, yang artinya: semoga kesejahteraan dan rahmat Allah serta berkahnya terlimpah atas kamu.
Salah satu aspek prilaku sosial muslim adalah membiasakan ucapan salam. Dalam Islam memberikan penghormatan dengan ucapan salam tidak dianggap sebagai suatu kebiasaan sosial ciptaan manusia, yang bisa diubah dan disesuaikan dengan tempat dan keadaan. Memberikan penghormatan dengan salam merupakan etika yang secara jelas dituntunkan oleh Allah dalam kitab-Nya, dan aturan serta arahan berkaitan dengan penghormatan ini ditegaskan dalam hadits-hadits Nabi
Allah memerintahkan kepada umat Islam untuk saling menghormati satu sama lain dengan salam dalam istilah yang jelas dan tegas:
يَا أَ يُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا لا تَدْخُلُوْا بُيُوْتاً غَيْرَ بُيُوْتِكُمْ حَتىَّ تَسْتَأنِسُوْا وَتُسَلِّمُوْا عَلَى أَهْلِهَا ذَالِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum minta izin dan memberi salam kepada penghuninya itulah yang baik bagi kamu agar kamu selalu ingat”.

Allah juga memerintahkan membalas ucapan salam dengan cara yang sepadan atau yang lebih baik, dan merupakan hal wajib untuk menjawabnya.
وَإِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوْهَا
“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik atau balaslah dengan yang serupa”.

Nabi Muhammad SAW, juga menempatkan salam pada tempat yang istimewa dan mendorong umat Islam untuk mengucapkan salam ini dalam banyak hadits, sebab beliau memahami pengaruhnya dalam memperluas cinta, memperkuat ikatan cinta, keakraban dan persahabatan antara individu-individu dan kelompok-kelompok. Beliau menilai salam sebagai sesuatu yang akan membimbing kepada cinta, dan cinta akan membimbing kapada iman, dan iman akan mengantarkanya ke surga.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ وَوَكِيعٌ عَنِ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا تَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوْا وَلا تُؤْمِنُوْا حَتَّى تَحَابُّوْا أَوَلا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَئٍ اِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوْا السَّلامَ بَيْنَكُمْ
“Mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Ibn Abi Syaibah bercerita kepada kami Abu Mu’awiyah dan Waqi’ dari al-A’masy dari Abi Shalihdari Abu Hurairah: bahwasanya, Rasulullah SAW bersabda: kamu tidak akan masuk surga sampai kamu beriman, dan kamu tidak beriman sampai kamu saling mencintai satu sama lain. Maukah kamu aku beri tahu mengenai hal yang bila kamu kerjakan akan membuatmu saling mencintai satu sama lain. Sebarkanlah salam di antara kamu sekalian”

Salam dalam Islam adalah salam yang dipilih oleh Allah bagi hamba-Nya sejak Nabi Adam. Allah mengajarkan dan memerintahkan kepadanya untuk mengucapkan salam kepada para malaikat. Allah juga meminta anak cucu Adam disegala tempat dan waktu untuk menyebarkan ucapan salam tersebut, karena maknanya Perdamaian, yang merupakan sesuatu yang paling dicintai oleh manusia di manapun dan kapanpun mereka hidup. Nabi pernah bersabda:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ هَمَّامٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ عَلَى صُورَتِهِ طُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا فَلَمَّا خَلَقَهُ قَالَ اذْهَبْ فَسَلِّمْ عَلَى أُولَئِكَ النَّفَرِ مِنَ الْمَلَائِكَةِ جُلُوسٌ فَاسْتَمِعْ مَا يُحَيُّونَكَ فَإِنَّهَا تَحِيَّتُكَ وَتَحِيَّةُ ذُرِّيَّتِكَ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ فَقَالُوا السَّلَامُ عَلَيْكَ وَرَحْمَةُ اللَّهِ
“Bercerita kepada kami Yahya Ibn Ja’far bercerita kepada kami Abdurrozak dari Ma’mar dari Hammam dari Abu Hurairah: bahwasanya Nabi bersabda: “Ketika Allah menciptakan Adam Dia berkata kepadanya: Pergilah (menemui malaikat yang sedang duduk), dan ucapkanlah salam kepada mereka. Dan dengarkanlah apa balasan (sambutan) mereka kepada engkau, karena itulah yang akan mencadi ucapan kehormatan engkau dan anak keturunan engkau (selanjutnya). Maka Adampun berkata: “Assalamu’alaikum” , lalu para malaikat membalas: “Assalamu’alaika waramatullah”.

Karena ucapan salam ini berasal dari Allah, dan Allah memerintahkan kita untuk menerapkannya sebagai ucapan salam, maka sudah sewajarnya kita tidak perlu menggantinya dengan yang lain.
Adapun mengenai etika serta kepada siapa saja salam diucapkan, akan kami bahas lebih lanjut dengan menghadirkan hadits yang berhubungan dengan tema tersebut. Mengingat adanya perbedaan antara al-Qur’an dengan hadits dalam hal periwayatannya, dimana al-Qur’an seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir sedangkan tidak semua hadits diriwayatkan secara mutawatir, maka perlu diadakan penelitian hadits.
Penelitian terhadap hadits, tidak hanya tertuju pada sanad tetapi juga kepada matan. Di samping itu dalam perspektif historis terungkap bahwa tidak seluruh hadits tertulis pada zaman Nabi Muhammad SAW, adanya pemalsuan hadits yang disebabkan adanya perbedaan madzhab dan aliran, proses penghimpunan yang memakan waktu lama, jumlah kitab hadits dan metode penyusunan yang beragam serta adanya periwayatan bi al-ma’na, merupakan alasan penyebab dilakukannya penelitian hadits


KEPUSTAKAAN
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhāri, juz 7 (Beirut: dar al-Fikr)

Imam Muslim, al-Jāmi’ al-Shahih, juz 1 (Beirut: Dar al- Fikr)

Muhammad Ali al-Hasyimi, Menjadi Muslim Ideal (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000)

Muhammad Muhyiddin, Mu’jizat Salam Dan Silaturrahmi, (Jogjakarta: DIVA Press, 2007)

M. Syuhudi Ismail, Metode Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan bintang, 1992)

Sugeng Supriadi, Bunga Rampai Ajaran Islam, jilid. 12 (Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah, 1990)

Sugeng Supriadi, Bunga Rampai Ajaran Islam, jilid 12 (Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah, 1990)

Z.A. Ahmad, Bunga Rampai Ajaran Islam, jilid 6 (Jakarta: Dewan Da’wah

No comments:

Post a Comment

About Me