1. Hukum Berkurban 1 Kambing Untuk 7 Orang
A. Pengertian Kurban
Qurban merupakan salah satu ritual ibadah yang diajarkan Islam. Qurban muncul setelah Nabi Ibrahim AS diuji keimanannya untuk menyembelih putranya NAbi Ismail AS. Dan sampai saat ini a telah menjadi salah satu perintah Tuhan yang harus kita kerjakan bagi yantg mampu. Qurban adalah symbol rasa syukur kita atas rizki yang diberikan Allah dan dan juga refleksi social.
Ibadah kurban didasarkan atas sebuah hadits nabi yang berbunyi :
"Barangsiapa mempunyai kelonggaran (harta), namun ia tidak melaksanakan qurban, maka jangan lah ia mendekati masjidku" (H.R. Ahmad, Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
B. Hukum Berkurban Dan Permasalahannya
Berqurban, menurut mayoritas ulama statusnya: sunnah . Dalil yang melandasi pendapat ini adalah riwayat Umi Salamh, Rasulullah s.a.w. bersabda "Bila kalian melihat hilal dzul hijjah dan kalian menginginkan menjalankan ibadah qurban, maka janganlah memotong bulu dan kuku hewan yang hendak disembelih" (H.R. Muslim dll), hadist ini mengaitkan ibadah qurban dengan keinginan yang artinya bukan kewajiban. Dalam riwayat Ibnu Abbas Rasulullah s.a.w. mengatakan "Tiga perkara bagiku wajib, namun bagi kalian sunnah, yaitu shalat witir, menyembelih qurban dan shalat iedul adha" (H.R. Ahmad dan Hakim).
Mazhab maliki menyebut statusnya: wajib. Mazhab syafi'i menyebut statusnya sunnah 'ain (menjadi tanggungan individu) bagi setiap individu sekali dalam seumur dan sunnah kifayah bagi sebuah keluarga besar, menjadi tanggungan seluruh anggota keluarga, namun kesunnahan tersebut terpenuhi bila salah satu anggota keluarga telah melaksanakannya.
Dalam berkurban, ada banyak cara dan syrata yang harus dipenuhi, demi sahnya –secara syar’i—berkurban. Dan hal ini memiliki banyak versi dan variasi. Salah satu tata aturan dalam berkurban yantg lazim adalah berkurban secara patungan, tapi dengan mengkurbankan hanya 1 sapi (bukan kambing). Ketentuan ini berdasakan hadits nabi :
"Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Kami bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan kemudian tiba hari Ied. Maka kami berserikat tujuh orang pada seekor sapi dan sepuluh orang pada seekor unta." (HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1213).
Namun hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana jika kita berkurban secara berpatungan tapi dengan 1 kambing bukan 1 sapi?
Beberapa ulama berpendapat boleh, demi efisiensi dan ekonomi . Salah satu dalilnya adalah :
"Berkata Atha bin Yasar: Aku bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari, bagaimana sifat sembelihan di masa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam , beliau menjawab: jika seseorang berkurban seekor kambing, maka untuk dia dan keluarganya. Kemudian mereka makan dan memberi makan dari kurban tersebut." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Malik, Al-Baihaqi dan sanadnya hasan, lihat Ahkamul Iedain hal. 76).
Akan tetapi, hemat penulis tidak boleh. Karena, pertama, kurban adalah ritual ibadah yang punya aturan dan jika kita keluar dari aturan tersebut, namanya bukan berkurban. Jika yang dibolehkan adalah berkurban 1 sapi untuk 7 orang, maka ketika kita berkurban 1 kambing untuk 7 orantg itu namanya bukan berkurban, tapi bersedekah.
Analoginya seperti ini, dalam islam ada yang namanya puasa wajib ramadlan. Ia memiliki syarat dan ketentuan tertentu. Salah satu syaratnya adalah dilaksanakan di bulan ramadlan. Nah, apabila kita berpuasa tapi diluar bulan ramadlan, itu namanya bukan puasa ramadlan, akan tetapi puasa lain.
Jadi, kita berkurban tetaplah sebagaimana yang telah dianjurkan oleh para ulama kita. Tidak usah kita mempersulit diri dengan pertanyaan yang sebenarnya sudah sangat jelas untuk dipertanyakan.
2. Hukum Cerai Melalui SMS
A. Perceraian Melalui SMS
Fenomena penggunaan beragam dari Short Message Service (SMS), yaitu pesan singkat berupa teks melalui telepon seluler merupakan gejala kontemporer dari perkembangan teknologi komunikasi dan seluler yang digandrungi sekitar 15 milyar penduduk dunia menurut The Straits Times. Hal itu memang tidak jarang menimbulkan masalah yang kontroversial termasuk masalah cerai dari sudut kacamata agama maupun etika. Kontroversi cerai daan nikah via SMS tersebut di Indonesia memang belum begitu populer, bahkan dari kalangan feminis dan lembaga-lembaga kewanitaaan pun belum kita dengar pandangan mereka tentang hal ini.
Kontroversi ini bermula dari ulah seorang pria di Dubai Uni Emirat Arab yang tega menceraikan istrinya melalui pesan SMS karena kesal dengan lambatnya sang istri yang bunyinya. “Kamu saya ceraikan karena lambat!” Masalah tersebut akhirnya dibawa ke pengadilan dan diputuskan cerai (jatuh talak). Alasannya, menurut Kepala Bagian Talak-Rujuk di Pengadilan Dubai, Abdus Salam Darwish bahwa pengirim SMS terbukti memang suami yang sungguh-sungguh ingin menceraikan sang istri .
Sebelum menjelaskan hukum masalah dari perspektif fiqih beserta alasannya dan dalilnya perlu diklarifikasi bahwa pesan SMS yang Saudara terima dari istri tersebut kalau memang Saudara tidak menyatakan cerai. Maka, hal itu masuk dalam pembahasan bab khulu’ yaitu gugatan cerai yang biasanya diajukan oleh pihak istri, dan keputusan cerai tetap dikembalikan kepada suami tanpa harus melalui proses pengadilan, baik jawaban mengiyakannya secara langsung atau melalui SMS, juga asalkan memang akurat dan benar adanya pengirim jawaban SMS memang dari sang suami dan gugatan khulu’ tersebut memang benar dari pihak istri. Dalam hal ini terdapat alasan kuat yang syar’I (dibenarkan syariat), maka pengadilan (hakim agama) sebagai waliyul amri berhak dan berwenang memutuskan cerai, meskipun sang suami menolak cerai agar tidak menyiksa dan menggantung nasib (status) istri. Seperti alasan tidak terpenuhinya hak-hak dan nafkah istri, penganiayaan, kebejatan moral, perbedaan agama, atau akidah dan sebagainya. Maka hal itu efektif jatuh talak dengan atau tanpa jawaban yang mengiyakan persetujuan khulu’ dari sang suami.
Khulu’ menurut bahasa artinya ‘mencabut atau menghapus’, yang dalam istilah fiqih berarti ‘mencabut dan mengenyahkan ikatan pernikahan’ (naz’ wa izalah az-zaujiyah) baik dilakukan oleh sang istri, wali, maupun hakim dengan memberikan kompensasi sejumlah materi (’iwadh) kepada sang suami menurut keputusan pengadilan atau kesepakatan suami istri. Namun, yang perlu diingat adalah bila terjadi perceraian karena persetujuan khulu’ (gugatan cerai pihak istri) maka jatuh talak bain terutama menurut kalangan ulama Malikiyah yang berimplikasi haram bagi keduanya untuk rujuk kembali selama-lamanya sampai sang istri menjanda lagi setelah menikah dan telah berkumpul dengan pria lain . Namun demikian, kalau memang alasan khulu’ sang istri belum kuat maka sebaiknya dipertimbangkan kembali secara masak termasuk dalam hal ini adalah karena isu atau memang akan dimadu. Sebab, perceraian adalah kalau pun harus terjadi maka menurut Nabi hal itu merupakan suatu yang boleh namun tetap paling dibenci Allah SWT. (abghadhul halal ilallah ath-thalaq). Demikian pula perlu dipikir masak-masak apakah keinginan poligami (kalau memang isu itu benar adanya) sudah tepat dengan melihat berbagai kondisi riil antara mudharat dan maslahatnya.
Adapun masalah menjatuhkan cerai (talak) melalui SMS yang dikirimkan seseorang kepada istrinya dengan atau tanpa alasan perceraiannya yang diterima syariah, maka kita kembalikan dahulu prinsip pernikahan dan perceraian dalam Islam adalah suatu hal yang sakral, serius, penuh amanah, tanggung jawab, dan pesan keadilan sehingga Nabi saw.mewanti-wanti untuk tidak main-main sebab masalah tersebut bukan pada tempatnya untuk dipermainkan dan apa pun caranya dinilai serius dan berlaku efektif. Sabdanya, “Tiga hal yang seriusnya adalah serius hukumannya dan candanya adalah juga serius hukumnya:nikah, talak, dan memerdekakan budak. Dan hukum asal pernikahan adalah konsisten tetap melangsungkan tali pernikahan sebab pudarnya tali pernikahan merupakan sesuatu hal yang paling dibenci Allah meskipun boleh dilakukan (HR Abu Dawud, an-Nasa’I dan Ibnu Majah).
Talak (thalaq) dalam bahasa arab makna asalnya adalah ‘memudarkan kembali tali ikatan dan pelepasan’, sebagaimana hampir mirip dengan makna etimologis khulu’. Namun biasanya khulu’ dipakai sebagai gugatan cerai dari pihak istri sementara talak sebagai penjatuhan cerai dari suami yang dalam teminologi syariah penjatuhan talak harus memakai lafal (redaksi) ekplisit yang jelas dan dimengerti . Hukum talak (cerai) melalui SMS dapat dianalogikan/ diqiyaskan dengan hukum cerai melalui tulisan surat biasa (bil kitabah) sebab ada kesamaan keduanya merupakan pesan cerai melalui teks yang bukan verbal (lisan). Menurut para ulama fikih (fuqaha) sepakat bahwa hal itu efektif jatuh talak (Prof.Dr.Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, VII/382).
Syaikh Ahmad al-Haddad, mufti agung Emirat, di Dubai mengeluarkan fatwa terbarunya. Dalam fatwa terbarunya ia membolehkan shighah talak lewat SMS.
Syaikh Ahmad mengatakan: “Fatwa ini dikeluarkan dan mazhab Maliki meyakini bahwa ucapan talak hanya sah dengan dituliskan. Sementara ulama Syafi’i memiliki penjelasan tersendiri. Pengucapan shigah talak adalah wajib dan tanpa mengucapkannya, talak tidak terjadi”. Ia menambahkan: “Dalam fiqih Syafi’i talak dengan tulisan bisa sah dengan dua syarat. Pertama, ketika menuliskan shigah talak, harus disertai dengan niat menceraikan istri. Kedua, ketika menuliskan shigah talak, hendaknya suami mengucapkannya dengan suara jelas dan diketahui sebagai ucapan talak”.
Oleh karena itu, Syaikh Ahmad al-Haddad mengambil kesimpulan:”Sesuai dengan hukum yang disebutkan dalam fiqih Syafi’i, talak lewat SMS juga menjadi sah hukumnya. Tentunya, dengan memenuhi dua syarat di atas. Suami yang hendak menuliskan shigah talak lewat HPnya meniatkan untuk menceraikan istrinya dan ia mengucapkan lafadnya dengan suara keras. Dengan cara ini, talak menjadi sah dan tidak punya masalah” .
Jadi dari beberapa pendapat dan dalil diatas, cerai lewat SMS itu sah dan diperbolehkan secara syar’i.
3. EUTHANASIA
A. Pengertian Euthanasia
Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan” . Dalam istilah lain ia disebut emergency killing.
Euthanasia ada tiga macam konsep, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien yang merasa tidak kuat menahan penyakitnya, euthanasia yang dilakukan atas permintaan orang lain karena setelah dianalisa si pasien dianggap tidak akan kuat menahan penyakitnya, dan euthanasia yang dilakukan tanpa permintaan.
B. Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Indonesia
Akan tetapi, dalam perspektif hokum di Indonesia, yang dikenal hanya euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien atau orang dekatnya.
Di Indonesia masalah euthanasia masih belum memiliki ketentuan hokum yang jelas. Akan tetapi, kalau kita merujuk pada Pasal 344 KUHP yang secara tegas menyatakan:
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun” .
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
Secara konseptual, euthanasia yang terjadi di Indonesia bias dianggap sebagai euthanasia atas permintaan orang lain, akan tetapi secara hokum, ia tetap termasuk dalam kasus pembunuhan biasa, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan, “ Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun” atau pembunuhan berencana sebagaimana dalam ketentuan Pasal 340 KUHP yang menyatakan “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.
Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”.
Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan,
“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”.
Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”.
Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia.
Jadi, dalam perspektif hukum Indonesia, euthanasia dilarang, meski beberapa orang menyatakan bisa.
C. Euthanasia Dalam Perspektif Ilmu Kedokteran
Pengertian euthanasia ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negative, dan biasanya tindakan ini dilakukan oleh kalangan medis. Sehingga dengan hal demikian akan muncul yang namanya euthanasia positif dan euthanasia negative dan berikut adalah contoh-contoh tersebut;
• Seseorang yang sedang menderita kangker ganas atau sakit yang mematikan, yang sebenarnya dokter sudah tahu bahwa seseorang tersebut tidak akan hidup lama lagi. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi justru menghentikan pernapasannya sekaligus.
Seperti yang dialami oleh Nyonya Again yang mengalami koma selama tiga bulan dan dalam hidupnya membutuhkan alat bantu pernafasan. Sehingga dia akan bisa melakukan pernafasan dengan otomatis dengan bantuan alat pernafasan. Dan jika alat pernafasan tersebut di cabut otomatis jantungnya akan behenti memompakan darahnya keseluruh tubuh, maka tanpa alat tersebut pasien tidak akan bisa hidup. Namun, ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai "orang mati" yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya.
Hal tersebut adalah contoh dari yang namanya euthanasia positif yang dilakukan secara aktif oleh medis.
Berbeda dengan euthanasia negative yang dalam proses tersebut tidak dilakukan tindakan secara aktif (medis bersikap pasif) oleh seorang medis dan contohnya sebagai berikut;
1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati (padahal masih ada kemungkinan untuk diobati) akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.
2. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita kelumpuhan tulang belakang atau kelumpuhan otak. Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan (tanpa diberi pengobatan) apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit otak, yang mungkin akan dapat membawa kematian anak tersebut.
Dari contoh tersebut, "penghentian pengobatan" merupakan salah satu bentuk eutanasia negatif. Menurut gambaran umum, anak-anak yang menderita penyakit seperti itu tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan mempermudah kematian secara pasif (eutanasia negatif) itu mencegah perpanjangan penderitaan si anak yang sakit atau kedua orang tuanya.
Dalam KODEKI (Kede etik kedokteran Indonesia) pasal 2 dijelaskan bahwa; “seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan kedikterannya sebagai seorang profesi dikter harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum dan agama.
KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam menjalankan prifesinya seorang dokter tidak boleh melakukan;
Menggugurkan kandungan (Abortus Provocatus), mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).
Mengenai euthanasia, dapat digunakan dalam tiga arti ;
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir,
2. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) penderitaan pasien diperingan dengan memberikan obat penenang
3. Mengakhiri penderitaan dari seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya .
Adapun unsur-unsur dalam pengertian euthanasia dalam pengertian diatas adalah:
1. Berbuat seauatu atau tidak berbuat sesuatu
3. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien,
4. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan,
5. Atas permintaan pasien dan keluarganya,
6. Demi kepentingan pasien dan keluarganya.
Jadi, dalam pandangan Kedokteran secara umum, euthanasia tidak diperbolehkan.
D. Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Islam
Dalam pandangan hukum Islam, hanya memperbolehkan kematian secara alamiah. Dalam resolusi no 5 Pertemuan ke-3 Dewan Akademi Fikih (1407 H / 1986 M) , disebutkan bahwa kaidah hukum Islam “la dharar wa la dhirar” membenarkan pembiaran kematian secara alamiah. Walaupun petugas medis wajib menyediakan pelayanan medis sepanjang waktu, tetapi tindakan medis dapat dihentikan jika menurut pendapatnya tipis atau nihil harapan bagi pasien untuk sembuh .
Dr. Abdulaziz Sachedina (University of Virginia, tanpa tahun) juga mengatakan bahwa hokum Islam tidak melarang penghentian tindakan yang sia-sia dan disproporsional dengan persetujuan anggota keluarga terdekat dan dengan pertimbangan professional medis.
Pengobatan itu hukumnya mustahab atau wajib apabila pasien dapat diharapkan sembuh. Sedangkan apabila tidak dapat diharapkan sembuh, apalagi setelah memperoleh pengobatan lama dan penyakitnya tetap tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatan menjadi tidak wajib .
Kasus Terri Schiavo beberapa waktu yang lalu menimbulkan debat dari segi etik dan medikolegal, yaitu karena apabila artificial nutrition and hydration itu dianggap bersifat “extraordinary” sehingga penghentiannya dianggap sebagai tindakan pasif, namun keinginan matinya disangsikan telah dinyatakan oleh si pasien sendiri – karena ia berada dalam persistent vegetative state – sedangkan keluarganya berbeda pendapat (suami berbeda dengan orang tua).
Sedangkan untuk euthanasia (aktif) Islam dengan nyata melarang, baik dilakukan terhadap kehidupan orang lain maupun kehidupan diri sendiri, meskipun dengan alasan untuk mengakhiri penderitaan pasien, sebagaimana diatur dalam Al Quran.
Dan janganlah membunuh jiwa yang diharamkan Allah melainkan dengan suatu (alasan) yang benar (QS Al Isra, 17:33)
Janganlah membunuh dirimu sendiri, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu (QS Al-Nisa, 4:29)
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya (QS Al-Baqarah, 2:286)
DAFTAR PUSTAKA
Ebrahim, Abdul Fadl Mohsin. Kloning, euthanasia, transfuse darah, transplantai organ, dan eksperimen pada hewan. Telaah fikih dan bioetika Islam. (terjemahan). (Jakarta: Serambi 2004).
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,(Jakarta : Bumi Aksara, 1999)
Organization of the Islamic Conference’s Islamic Fiqh Academy: Resolutions and Recommendations (1406-1409H / 1985-1989 M), hal 30
Oxford University, Oxford Learner’s Pocket Dictionary,(New York : Oxford University Press, 2003)
Qardhawi, usuf. Fatwa-fatwa kontemporer. (Jilid 2). (Jakarta: Gema Insani Press. 1995)
Soehino, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, (Bogor : Politeia 2003)
Suswati, Irma. Euthanasia, (makalah).Malang,14 Februari 2005.
http://www.freewebs.com/euthanasiabs
http://konsultasi.wordpress.com/
http://mhamzah.multiply.com/reviews/item/22
http://psyconcept.wordpress.com/2009/01/28/hello-world/
No comments:
Post a Comment